Om Swastiastu Good people, pada rajin kepura gak? tentunya harus rajin
dong. sebagai umat Hindu yang Dharma harus selalu berbakti kepada Ida Sang
Hyang Widi Wasa tuhan yang maha esa. perlu kalian ketahui Boys kalau pakaian
Kepura pria harus sesuai dengan aturan dan tentunya nyaman dan Benar. Rugi dong
kalo Ganteng tapi pakaiannya salah dan tidak sesuai? hehehee mungkin kalian
merasa ga kalo kancut kalian masih terjuntai keluar dan masaih anda terapkan
hingga sekarang, nah itu salah boys. Nah kalini ane akan membahas bagaimana sih
Busana adat yang sesuai bagi para lelaki ke PURA, so lets find out boys :
Busana
adat ke Pura untuk putra
Dalam menggunakan
busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen (wastra)
putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma.
Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung
jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat
yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan
ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang
kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan
symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan
kejantanan kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan
itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan
saputan (kampuh). dapat dilihat pada gambar dibawah
Tinggi
saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk menutupi
kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar. Saput
melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan
hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha
Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di
sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra
memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi apapun
siap memegang teguh dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju
(kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus
berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus
menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan
memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang
pasti. Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar). Udeng secara
umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng
dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada
udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai
lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran.
Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji
Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi,
dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma.
Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan
simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala
atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih
meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada
tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi
masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak
ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat
kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi.
Thanks infonya min
BalasHapus